Menuntut Ilmu Agama Tidak Menghalangi Rejeki
Menuntut
Ilmu Agama Tidak Menghalangi Rejeki
Usaha
mencari penghidupan, bisnis, berdagang, jadi
pegawai atau karyawan
dan kegiatan mencari rizki lainya,
merupakan aktivitas yang banyak manusia lakukan. Itu juga merupakan
ibadah yang agung menurut agama
Islam jika diniatkan karena Allah. Meski begitu, tujuan diciptakanya
manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah dan menghiasi kehidupan
dunia dengan menuntut Ilmu agama Islam dengan pemahaman yang murni
dari Nabi Muhammad dengan berdasarkan pemahaman Salafus Shalih jauh
lebih penting.
Tingkatan
kecerdasan dan kekuatan manusia berbeda-beda. Tingkatan kesungguhan
dalam menuntut ilmu juga berbeda beda. Jika kita belum bisa seperti
yang disebutkan di
kisah ini (karena
totalitasnya dalam menuntut ilmu agama),
setidaknya maksimalkan kegiatan kita tidak jauh dan tidak lepas dari
aktivitas penting yaitu menuntut ilmu agama berdasarkan
pemahaman pendahulu kita yang solih (Salafunasshalih),
agar derajat kita terangkat dan hidup kita bermanfaat di dunia dan di
akherat.
Kisah
yang indah tentang menuntut Ilmu Agama tidak
menghalangi
datangnya rezeki.
Semi
transkrip dari kajian Ilmiah di masjid RSI Sanden Magelang tanggal 19
Dzulhijah 1438H/ 10 September 2017.
Abu
Yusuf menceritakan kisahnya sendiri,
ayahku Ibrohim meninggal dunia. Akupun ditinggal ayahku
dalam kondisi masih kecil, aku berada dipangkuan ibuku, di
bawah asuhan ibunya dari kecil. Akhirnya ibuku menitipkan kepada
tukang cukur rambut, tujuanya agar aku membantu tukang cukur tersebut
dan mendapatkan upah.
Namun aku meninggalkan tukang cukur tersebut. Kemudian pergi ke
majlis taklim imam Abu Hanifah.
Aku duduk mendengarkan kajian imam Abu
Hanifah. Ternyata diam-diam
ibuku menyusul ke majlis taklim Abu
Hanifah, kemudian ibuku menarik lenganku, dan
mengarahkan diriku ke tempat tukang cukur rambut tadi. Setelah ibuku
pulang aku kembali ke Abu Hanifah untuk
mengambil ilmu yang disampaikan
beliau.
Ketika beliau (ibuku) terus menerus melakukanya, dan aku senantiasa kembali ke majlis Abu Hanifah, ibuku marah dan mendatangi Abu Hanifah dan menyampaikan ke Abu Hanifah, dalam bahasa kita, “ mohon maaf Abu Hanifah, anak kecil ini yatim, anak kecil ini tidak punya apa-apa kecuali 1 atau 2 suap makanan yang aku berikan kepadanya dari hasil memintal”. Harapan ibuku agar Abu Hanifah menghasung aku (Abu Yusuf) untuk bekerja ke tukang cukur agar dapat upah untuk makan.
Ketika beliau (ibuku) terus menerus melakukanya, dan aku senantiasa kembali ke majlis Abu Hanifah, ibuku marah dan mendatangi Abu Hanifah dan menyampaikan ke Abu Hanifah, dalam bahasa kita, “ mohon maaf Abu Hanifah, anak kecil ini yatim, anak kecil ini tidak punya apa-apa kecuali 1 atau 2 suap makanan yang aku berikan kepadanya dari hasil memintal”. Harapan ibuku agar Abu Hanifah menghasung aku (Abu Yusuf) untuk bekerja ke tukang cukur agar dapat upah untuk makan.
Tapi
Abu Hanifah (seorang Ulama besar
yang mumpuni dan memiliki firasat yang baik) berkata, dalam
bahasa kita, “wahai ibuk, sesungguhnya kami melihat pada putra anda
ini memiliki kecerdasan, biarkan saja putra anda ini untuk ngaji,
siapa tahu suatu hari nanti putramu ini akan mendapat
rizki yang banyak melimpah
sampai bisa menikmati makanan yang kusus untuk raja saja.
Kemudian
apa yang disampaikan oleh Abu Yusuf bin Ibrohim selanjutnya…….
Setelah
itu aku terus mendatangi majlis taklim Imam Abu Hanifah. Di awal kali
aku mendatangi majlis taklim beliau sebelum hadirin lainya datang,
kemudian setelah majlis taklim selesai beliau Abu Yusuf tetap duduk
di situ sampai manusia pulang. Ternyata tiba tiba Abu Hanifah memberi
hadiah 1 kantong ternyata isinya 100 dirham. Beliau mengatakan
kepadaku, jangan bosan, terus semangat ikut kajian di sini, kalau
seandainya uang tersebut habis, sampaikan kepadaku. Maka aku
terus-menerus belajar. Selang berapa waktu hari setelahnya, ternyata
imam Abu Hanifah memenuhi janjinya memberikan uang 100 dirham
kepadaku, dan beliau memberikan semangat kepadaku, dan tidak
menjadikanku kekurangan dalam kehidupan sehari-hari. Sampai Allah
menganugerahkan ilmu Abu Hanifah kepadaku ( dalam usia masih muda).
Sampai
akhirnya, karena ilmu yang aku miliki, aku (Abu Yusuf) diangkat Qodi
(Hakim) di masa Al Umawiyah (yang jadi hakim harus berilmu agama).
Dan sampai masa kekhilafahan Harun Al Rasyid, aku (Abu Yusuf)
mendapatkan gelar hakim senior (mungkin sekarang hakim Agung, hakim
di masa dulu Raja sekalipun akan tunduk di bawah ketetapan hukum
seorang Hakim) dikarenakan aku membawahi banyak hakim di berbagai
daerah.
Di
suatu hari, ketika aku menemani duduk Harun Al Rasyid, disuguhi
dengan hidangan khusus, sang khalifah ( Harun Al Rasyid) berkata,
“silakan dinikmati wahai Abu Yusuf, karena makanan ini tidak
dibikin setiap hari”. Kataku (Abu Yusuf), “wama hadza?”
(makanan apa ini?) ya Amiral Mu’miniin (gelar Harun Al Rasyid).
Beliau menjawab, “ini adalah makanan istimewa (disebutkan
namanya)”. Akhirnya Abu Yusuf tersenyum terlebih dahulu, sehingga
khalifah bertanya, “ma laka tatabasam ?” (kenapa engkau
tersenyum)? Wahai Abu Yusuf?. Akhirnya aku (Abu Yusuf) menjawab
dengan nada sopan, “tidak ada apa-apa”. Namun terus menerus Harun
Al Rashyid mendesak agar menceritakan kenapa kok tersenyum, akhirnya
mendapat desakan tersebut aku (Abu Yusuf) menceritakan kejadian tadi
(kisah tadi).
Selanjutnya
yang jadi penekanan kisah ini juga adalah,
Kemudian
beliau (abu Yusuf) mengatakan Innal ilma layarfak, wayangfau
fiddunya wal akhiroh (sesungguhnya ilmu agama itu akan mengangkat
derajat dan akan bermanfaat di dunia dan akherat)
Intinya
menuntut ilmu agama tidak menghalangi datangnya rejeki.
Referensi
Kajian
Islam Ilmiah
di masjid RSI Sanden Magelang tanggal 19 Dzulhijah 1438H/ 10
September 2017.
Terima
kasih
Dadang
Auto Champion